Untuk Lelaki Bermata Badai, HENDRICO
Z. RICKO
![]() |
Hendrico Z Ricko |
Saya tidak
sedang menuliskan tentang cinta, bukan juga tentang rindu yang menggunung
seperti musim winter yang beku menuju
pendakian Kailas yang mematikan. Saya hanya akan sedikit bercerita tentang
sosok lelaki yang menelanjangi dirinya utuh pada hari ini, dengan satu tujuan masa depanku akan gemilang ucapnya.
Saya “bertemu”
dengan Hendrico Zafari di akhir Mei 2015 yang lalu, pertemuan yang tidak begitu
menarik pikir saya. Namun, berawal dari pertemuan yang tidak menarik itu,
justru menjadi kisah yang perlu saya garis bawahi, mungkin banyak orang yang
bertemu pada moment yang tepat namun
dengan feel yang datar, ada pula yang
bertemu pada moment yang tidak tepat,
namun penuh dengan kenangan. Lalu pertemuan kami di kali pertama, mungkin
berada di antaranya, moment dan feel yang biasa saja.
Selama
perkenalan dan komunikasi antara kami. Saya menemukannya pada beberapa fase
perubahan, ia menjadi teman diskusi dalam banyak hal, sehingga fase-fase
perubahan itu bisa saya saksikan.
Dalam hidup
seseorang, perubahan bisa terjadi dalam banyak cara, setidaknya pada dua hal. Pertama, karena sebuah musibah,
kehilangan dan kehancuran. Lalu Kedua,
karena jatuh cinta dan adanya kepercayaan di sana.
Meski pada
dasarnya setiap wanita dan laki-laki selalu berbeda dalam proses perubahan. Wanita
seringkali dikatakan sulit untuk dimengerti, padahal sebenarnya para lelaki
juga tak kalah sulit untuk dipahami. Seperti kata Alexis Carel, dalam bukunya “The Man Unknown” perbedaan antara
lelaki dan perempuan bukannya lahir dari perbedaan jenis kelamin, tapi
perbedaan itu lahir dari sebab yang sangat dalam dari keterpengaruhan anggota
tubuh, dan tanggung jawab.
Saya sering
berdiskusi ringan hingga diskusi berat dengan Hendrico, yang kemudian sering
saya panggil dengan “uda” karena perbedaan umur kami yang cukup jauh. Namun,
diskusi itu selalu berakhir pada tema “Bagaimana menjadi lebih baik?”
![]() |
Sumber Google |
Perjalanan
waktu dan ruang baginya sebuah pelarian, pencarian dan kemudian berhenti. Namun
perjalanan bagi saya sendiri, serupa pembelajaran, karena saya tidak pernah
memutuskan untuk melarikan diri atau mencari sesuatu pada perjalanan.
“Umurku kian
beranjak senja? Apa masih perlu bermain-main dengan rasa?” ucapnya satu kali
pada saya. Saya mencoba memahami kalimat itu, seperti kalimat yang terlalu
lelah dalam sebuah perjalanan, pencarian dan akhirnya mengambil keputusan untuk
berhenti saja.
Saya melihat
konsep ketertarikan sesuatu hal ke hal yang lainnya, lebih karena sebuah persamaan. Mungkin karena
memiliki masalalu yang sama, kegagalan yang sama dan pemikiran yang sama,
kondisi seperti ini yang kemudian akan mendekatkan satu dengan lainnya.
“Kegagalan”,
itu point besar antara saya dan uda, kami sama-sama memiliki masa suram,
sama-sama beranjak pada perjalanan yang abu-abu, pada titik tertentu pada
persamaan waktu, pemikiran dan ruang sasar, saat itu lah saya memahami satu hal, uda ingin kembali. Kembali
pada hakikat kebenaran dan kerinduan manusia pada ilahinya.
Saya menemui
seorang lelaki yang sangat perasa, memiliki sensivitas dengan persentase yang
lebih besar dibanding logikanya. Berbanding terbalik dengan saya, saya
seringkali dianggap oleh sebagian teman-teman wanita “totally logical woman” saya tidak suka menghabiskan waktu untuk
menduga-duga, jika ada hal yang agak menggangu pikiran, saya lebih suka
mengabaikan atau konfirmasi langsung. Sehingga kesan “cuek” lebih kentara
ketika pertama kali bertemu dengan saya.
Saya pernah
bertanya pada Uda, apa yang mewakili kalimat dari seorang Hendrico? Dengan
santai dan sepertinya ia juga ingin menegaskan bahwa ia “Lelaki Bermata Badai” si Avonturier
sejati, petualang yang tiada henti. Awalnya saya pikir, ini akan mirip dengan
petualangan Marcopolo atau Ibnu Batuta dengan misi yang besar. Namun ternyata
misi besar itu justru ditanamkan dari dalam dirinya sendiri, baru memberi
impact pada lain, akunya begitu.
Lelaki
bermata badai, kalimat itu tentu ada dasarnya, dia mengakui lahirnya kalimat
lelaki bermata badai berdasarkan puisi yang ia tulis, namun saya meyakini
setidaknya lebih 40 persen apa yang ditulis oleh seorang penulis adalah
kenyataan yang dialaminya sendiri, sisanya bisa jadi hasil dari hayalan atau
harapan-harapan yang belum terwujud.
Sejak kecil
banyak stereotype yang ditanamkan bahwa seorang anak laki-laki tidak boleh
menangis, pantang untuk menangis. Tapi menurut saya justru sebaliknya,
laki-laki baik masih anak-anak ataupun sudah dewasa, tidak ada larangan untuk tidak boleh menangis.
Ketika
seorang lelaki bisa menangis dan meneteskan airmatanya, di situlah saya
menemukan bahwa ada “kehidupan” dalam jiwa dan pikiran seorang laki-laki. Itu
yang saya temukan dalam diri uda, ketika ia mengingat anak-anaknya, akan
dosa-dosa yang telah berlalu, saat itulah saya menemukan balancing “hidup” dalam jiwa dan pikirannya.
Perubahan,
bukan hanya pada pola pikir, namun juga spiritual, bagaimana melihat hidup ke
depan, bukan hanya dengan sebuah pemahaman, namun juga dengan aksi nyata,
keistiqamahan menjadi point penting dalam ajaran menuju kemengertian pada
kebenaran yang hakiki.
“Aku
ingin kembali, menjadi lebih baik, aku butuh guru, aku butuh yang membimbingku
dan aku butuh cinta untuk menjalani ini semua.”
![]() |
Sumber google |
Saya
menatapnya lekat-lekat, lelaki gagal, lelaki yang pernah berada pada zona
abu-abu bahkan hitam, lelaki avonturier yang bertualang ke sana dan kemari,
lelaki yang mengakumulasi banyak luka hati, lelaki yang menyematkan badai di
matanya, hari ini meredup…badai itu mereda, seiring langkahnya dalam perjalanan
Hijrah.
Di ujung
diskusi kami, uda mengatakan sesuatu pada saya.
“Inong,
lelaki bermata badai ini telah mati di tangan wanita bermata belati.”
Namun, saya
tidak setuju dengan ungkapan hatinya saat itu.
![]() |
Sumber google |
Jakarta, 2 Januari 2016
Aida, M.A
Komentar
Posting Komentar